SHARE
1 / 2
2 / 2

istimewa

Perihal keberpihakan ini juga diamini oleh Fede Alvarez yang menyutradarai film pertama dan ikut menulis skenario dengan Rodo Sayagues.

“Dalam ‘Don’t Breathe’, sulit untuk mengetahui siapa yang seharusnya Anda dukung. Kami mencoba hanya memberikan fakta tentang apa yang dilakukan karakter, dan menciptakan situasi kompleks di mana penonton dapat berselisih,” katanya melalui siaran pers, dikutip pada Sabtu.

Kini, berlatar delapan tahun setelah film pertama, sekuel kedua kembali menghadirkan Nordstrom sebagai sentral cerita. Banyak penonton berharap sosok Rocky bisa kembali dimunculkan dan bertanya-tanya seperti apa kehidupannya setelah ia berhasil lolos dari rumah Nordstrom. Namun sutradara dan penulis skenario akhirnya sepakat menghadirkan semesta lain dengan menempatkan gadis kecil bernama Phoenix (diperankan oleh Madelyn Grace) sebagai bagian dari kehidupan Nordstrom, alias tak ada jejak Rocky di sekuel kedua ini.

Jika film pertama mendorong penonton untuk tak sepenuhnya berempati kepada Nordstrom, “Don’t Breathe 2” justru lebih banyak memberi panggung untuk lebih mendekat lagi terhadap kehidupan sang veteran perang itu dengan berbagai sisi manusiawinya.

Sayagues yang mendapat kesempatan menyutradarai sekuel ini mengatakan, bagaimana pun Nordstrom tidak akan pernah bisa dijadikan sesosok pahlawan namun para penggodok cerita di balik layar juga ingin menceritakan sebuah kisah dari sudut pandang karakter itu.

Pendapat sutradara dapat dipahami, tetapi sayangnya “Don’t Breathe 2” terasa kopong dalam segi eksplorasi karakter Nordstrom. Di sekuel kedua, masa lalu Nordstrom tampak hanya seolah-olah merujuk pada segala kejahatannya dalam peristiwa di film pertama, padahal jika latar belakang sang kakek bisa ditarik lebih jauh ia akan jauh lebih menarik dan narasinya akan jauh lebih kaya.

Satu-satunya kawan Nordstrom, Hernandez (diperankan oleh Stephanie Arcila), sempat menyinggung trauma perang–kalau tidak salah–sesaat sebelum pergi bersama Phoenix untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar kota. Dulunya, Hernandez juga seorang veteran tentara–tak diketahui apakah Nordstrom dan Hernandez sama-sama pernah bertugas bersama atau tidak–yang jelas latar belakang itu tak dieksplorasi lebih lanjut.

Dengan menampilkan kisi-kisi atau potongan masa lalu Nordstrom jauh sebelum peristiwa di film pertama setidaknya dapat lebih membantu penonton untuk membaca dari sudut pandangnya.

Apakah kebutaan dan kebrutalannya menjadi “mesin pembunuh” merupakan sisa-sisa trauma peperangan di masa lalu? Kenapa ia begitu terobsesi ingin mengasuh seorang anak? Seperti apa anak kandung yang ia sebut telah meninggal dalam peristiwa kecelakaan? Bagaimana sisi-sisi sepi dalam kehidupannya sejak menjadi veteran?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu hanya tampil setengah-setengah dalam sekuel kedua dan meninggalkan lubang dalam kepenuhan karakter yang menjadi sentral cerita.
 

Halaman :